Tentang Kegagalan
Aku baru saja selesai menghadiri pernikahan seorang teman gereja ketika HPku berbunyi, memberitahuku hasil semester ini sudah keluar. Dengan gemetaran aku membuka portal mahasiswa, menuju ke laman nilai, dan langsung lunglai melihat huruf D yang terpampang.
Aku tidak lulus studio, dan harus mengulang semester depan.
Bukan perasaan yang enak, tertinggal dari kawan-kawanmu. Setelah mengucapkan selamat pada yang dinyatakan lulus, aku mengurung diri di rumah. Kalau kata Mama, dia tidak pernah melihat aku seterpuruk itu. Dan bagaimana tidak, seorang Clara yang dulu begitu percaya dia sanggup menyelesaikan kuliah arsitektur dalam tiga setengah tahun dihadapkan pada kenyataan bahwa dia tidak semampu itu (memang dulu senaif itu).
Rasa kecewa pada diri ini menjelma jadi rantai. Di semester-semester mendatang, ingatan akan huruf D itu serta akan tangisan histeris ketakutan gagal saat jam 3 pagi hari pengumpulan tugas memendungi pekerjaan studioku. Sayangnya, bukan dalam bentuk lecutan motivasi untuk memperbaiki diri, akan tetapi dalam bentuk afirmasi eksternal yang menyatakan: kamu tidak mampu, dan kamu tidak layak. Hal yang didukung oleh sisi diriku yang menganggap kecil pribadiku, dan sering kali menyindir tindakanku — sebentuk setan pribadi.
Disinilah pentingnya mental baja, yang jelas belum aku miliki saat itu. Tapi aku disini bukan untuk menulis mengenai pentingnya mental baja. Aku lebih ingin menulis mengenai usahaku mendapatkan salah satu sumber mental baja, yakni kepercayaan diri.
Langkah pertamaku adalah mencari akar permasalahan. Untuk beberapa waktu lamanya aku merenungkan tindakan-tindakanku dan alasan dibalik tindakan tersebut. Mendengarkan isi hati, merasakan emosi yang lewat, lalu mengamati titik mulai dan frekuensi kemunculan pemikiran dan emosi tersebut. Menulis jurnal membantuku dalam proses ini.
Aku sadar, pada akhirnya suara terbesar yang mengerdilkan aku adalah diriku sendiri — setidaknya sisi diriku yang lebih mirip setan. Suara dari luar, seperti A yang memandangku sebelah mata, atau B yang menertawakanku, tidak akan berefek besar jika tidak dikumpulkan dan dijadikan amunisi oleh sisi diriku ini. Walau begitu, kemajuan bisa lebih cepat terjadi bila aku keluar dari ladang amunisi penyerangku. Jauh lebih enak rasanya mencoba berteman dengan diri ketika tidak sedang diserang bertubi-tubi dengan ingatan maupun pengalaman yang yah, tidak mengenakkan.
Jadi, langkah selanjutku adalah bertemu dengan setan ini, dan mengajaknya berteman. Agak aneh, memang. Tapi beginilah caraku. Aku mencoba berbagai aplikasi konseling yang tersedia online serta berdiskusi dengan teman-teman terdekatku. Seperti apakah dia? Sedang mencari apakah dia? Bagaimana caranya berusaha mendapatkan hal yang dicari?
Setelah menemukan jawaban yang kubutuhkan, langkah berikutnya adalah evaluasi: apakah hal yang dicari sesuatu yang wajar dicari? Bila iya, bagaimana caranya mendapatkan apa yang dimau tanpa harus menyabotase diri sendiri? Bila tidak, maka bagaimana caranya bisa merasa baik-baik saja tanpa harus mengingini hal tersebut?
Untukku sendiri, jawaban dari proses ini adalah aku sedang meyakinkan diri apa yang menjadi passionku. Diriku yang dulu semangat untuk menjadi arsitek, tersesat ketika masuk belantara kuliah arsitektur. Keyakinanku luntur dan aku pun ragu apakah keinginanku masih sama. Kalaupun ini memang bukan passionku, lantas apa jadi?
Setelah mencoba menjernihkan kepala, aku mulai mengambil langkah-langkah yang dapat membantuku memastikan keinginanku ini. Mulai dari intensif mempelajari software (dari yang Photoshop saja masih macet, sekarang sudah bisa buat lembar konsep desain — sebuah kemajuan berarti), sampai magang di biro milik dosen demi mencicip rasa bekerja sebagai seorang arsitek tulen (doakan ya sukses!), aku menenggelamkan diri dalam dunia perarsitekturan; jika ini memang bukan duniaku, aku akan tahu dari responsku terhadap pekerjaanku. Jika ini duniaku, maka aku akan baik-baik saja. Tapi ada satu hal yang harus diingat sebelum terjun: aku harus dapat melepaskan responsku dari pengaruh ingatan akan kegagalanku.
Cara terbaik mengatasi ketakutan adalah menghadapi ketakutan tersebut. Maka aku memutuskan: aku akan kembali menghadapi ketakutan. Aku mengumpulkan data-data yang dibutuhkan untuk tugas gagalku itu dari teman-teman dan dari file-file tua yang berserakan dalam laptopku, dan aku mulai berteman kembali dengan proyek yang sudah berselang 3 tahun ini. Tekadku: membuktikan bahwa aku bisa pada diriku sendiri, sehingga aku kembali percaya pada kemampuanku sendiri. Memang, aku bukanlah seorang yang luar biasa ahli, tapi aku bisa belajar. Itu cukup. Aku cukup.
Semua hal dimulai oleh langkah kecil, bukan? Kegagalan memang selalu ada, tapi bukan menjadi akhir dari segalanya. Dan bila kita sabar menyelesaikan masalah satu demi satu, hidup juga menjadi lebih mudah. Semangat berproses kalian, dari aku yang juga sedang berproses.