Sepucuk Surat

Clara Evangeline
2 min readSep 15, 2020

--

Aku selalu ingin bercerita tentangmu, tapi aku bingung harus menceritakan apa dan bagaimana. Kalaupun aku bercerita, semua ceritaku sudah basi. Kabarmu kemarin saja aku tidak tahu, apalagi kabar hari ini.

Aku tidak akan merepotkanmu dengan kabarku. Aku tahu kamu tidak ingin tahu atau repot. Kan, kamu yang melangkah pergi duluan.

Lantas kenapa mulai menyuratimu? Entahlah. Mungkin karena aku hanya ingin menulis tentang sesuatu, dan karena kamu sering melintas di benakku, kenapa tidak?

Padahal tidak akan aku kirimkan ke kamu juga. Buat apa, tidak akan kamu baca. Mungkin malah langsung dibuang, seperti kardus Pockyku yang pada masanya pernah kamu pajang bersama koleksi rokokmu.

Aku baru sadar, sebenarnya aku tidak tahu apakah kamu sungguh sudah membuang kardus itu beserta hadiah-hadiahku yang lain. Sebagian dari aku berharap belum, sih. Supaya aku tahu kamu dikelilingi sebanyak mungkin pemicu pengingat akan diriku seperti aku dikelilingi sebanyak mungkin pemicu pengingat akan dirimu.

Memangnya kenapa aku ingin kamu selalu ingat? Pendendam sekali. Masa yang lama mau diungkit terus? Harusnya aku sudah mengerti. Harusnya aku sudah mengikhlaskan. Harusnya aku sudah lupa.

Susah, ya, melupakan.

Bukannya aku tidak ingin. Tiap kali membaca nama orang yang mirip dengan namamu, jantungku seakan teriris, dan aku teringat akan merasakan hal yang sama saat kamu masih disini. Aku tidak suka. Masa sudah lepas dari kamu aku masih tidak boleh lega? Yang benar saja, ini keterlaluan.

Tapi aku memang belum bisa. Kenapa ya? Kan, katanya waktu menyembuhkan luka. Ini sudah kuberi waktu. Kenapa masih belum sembuh? Sedalam apa sih luka-lukaku? Apa perlu sampai aku jahit satu-satu supaya bisa mulai sembuh?

Hm, mungkin memang harus aku jahit satu-satu.

Ya sudah, aku mulai menjahit lukaku. Kubawa jarum dan benang kemana-mana agar bisa terus menjahit. Aku menjahit saat magang. Aku menjahit saat kuliah. Aku bahkan menjahit sambil merawat tanaman-tanaman baruku. Sambil menulis surat inipun, aku menjahit.

Jahitanku berantakan. Yang terjahit juga masih sedikit. Kadang-kadang aku malah salah tusuk jarum dan membentuk luka baru. Tidak apa-apa, aku teruskan. Ketika benangku habis atau jarumku jadi tumpul, aku minta lagi pada keluarga dan teman-temanku, dan lanjut menjahit.

Tadinya sempat terbersit untuk mengajakmu menjahit juga. Tapi aku ingat, kamu payah menjahit. Jangan.

Hei, lihat! Satu luka baru selesai terjahit! Ah, tapi ada bekasnya. Mau kuapakan, ya? Kan tidak bisa hilang sepenuhnya. Oh, aku tahu! Akan kupakai bercerita. Lebih seru bercerita tentang bekas luka daripada kulit mulus.

Hei, lihat! Aku sudah tahu akan menceritakan apa tentangmu! Akan ku ceritakan tentang kamu yang payah menjahit. Tentang bekas luka darimu. Tentang kamu yang tidak akan pernah membaca surat ini.

Hei, lihat! Surat ini bahkan tidak perlu ditujukan padamu. Ini kan suratku, bisa saja ditujukan padaku. Dan kalau ditujukan ke aku, pasti aku baca.

Aku senang, akhirnya ada yang membaca.

--

--

Clara Evangeline
Clara Evangeline

Written by Clara Evangeline

Pouring whatever's stuck in my mind here.

No responses yet