Gelas Kaca

Clara Evangeline
4 min readOct 18, 2020

--

Aku pernah menemukan buku gambar dengan namaku disampulnya beserta nama sekolah TK ku ketika sedang membereskan loteng rumah. Isinya gambar-gambar burung, pelangi, pohon, dan...puisi?

Puisi-puisi ini tidak sejenis dengan karya-karya Rupi Kaur. Alih-alih, isinya justru sangat khas anak kecil. Ingin sekali ku menepuk jidat gemas pada tulisan yang sudah berumur belasan tahun ini. Coba lihat, salah satunya berisi seperti ini:

Kalau main hujan nanti sakit

Kalau sakit nanti tidak masuk sekolah

Kalau tidak masuk sekolah nanti tidak bisa main sama teman-teman

(Tulisannya masih panjang, satu halaman penuh, tapi terbayang ‘kan seperti apa?)

Mama tertawa saat aku memperlihatkan bukunya. Katanya, semua buku gambar dan catatanku penuh dengan hal-hal seperti itu, tulisan-tulisan acak diselingi gambar-gambar seperti bunga, mobil, dan dua gunung dengan matahari. Ada satu tulisan yang bagus, lanjutnya, berjudul Gelas Kaca. Sebenarnya sudah dia simpan baik-baik dalam sebuah folder, tapi sekarang folder itu entah dimana karena kami memang memiliki terlalu banyak barang.

Aku sudah tidak menulis puisi sekarang. Aku tidak tahu kapan aku berhenti, atau mengapa aku berhenti. Ada beberapa kondisi yang mungkin menjadi faktor pendukung, tapi tidak ada titik henti definitif. Secara singkat, aku lupa. Lupa pernah menulis, lupa bahwa Gelas Kaca ada.

Pikiran bahwa aku bisa melupakan sesuatu yang dulu membuatku senang agak menakutkan. Bayangkan saja melupakan boneka kesayanganmu. Bukan skenario seperti mengenang masa kecil setelah menemukan bonekanya di gudang, tapi skenario menemukan boneka dirumahmu dan diberitahu bahwa itu milikmu, padahal kamu tidak ingat pernah memilikinya.

Aku mau tahu, apa lagi yang aku lupakan yang pernah membawakanku setidaknya secercah kebahagiaan?

Penemuan buku gambar TKku berlangsung di rumah lamaku yang sudah roboh 6-7 tahun yang lalu. Sampai sekarang, aku masih belum menemukan jawabannya. Keterbatasan kapasitas otak hanya sanggup membentuk dugaan berdasarkan petunjuk kabur dari ingatan tidak sempurna didukung oleh testimoni keluarga dan artefak masa lalu yang ternyata masih menunggu dibalik tumpukan benda lain di rumah.

Yang aneh, yang cenderung buruk justru terpatri jelas dikepalaku. Waktu seorang anak sekelas merasa patut melarangku berbicara dengan adikku dan menyiramku dengan air toilet sampai menggigil basah kuyub ketika melihatku melanggar. Saat aku jadi sasaran cemoohan anak-anak penumpang mobil penjemput dari sekolah karena berkeringat dan suka melamun (kombinasi yang aneh untuk dipakai merundungi seseorang, memang). Ketika ditatap satu ruang penuh om dan tante beserta anak-anak mereka karena jadi pusat perhatian ‘diskusi’ sebuah pertemuan organisasi rohani.

(Hal-hal ini memang terdengar absurd, tapi ini sungguh terjadi. Aku juga tidak begitu mengerti kenapa.)

Kenapa otakku begitu mudah melupakan sesuatu yang kusenangi, tapi malah mudah sekali mengingat kejadian-kejadian itu?

Bagian berikut ini hanya teori dugaanku yang bukan ahli, jadi tolong dimaklumi bila tidak tepat. Otak manusia didesain untuk mementingkan keberlanjutan hidup. Kejadian-kejadian itu sepertinya ditempeli stiker besar bertuliskan “JANGAN DIBUANG, JANGAN DIHAPUS” dalam rangka mengingatkanku untuk selalu menghindar, bagai sapi yang ingat akan loreng macan sebagai tanda bahaya dimangsa. Memori lain sepertinya dianggap tidak begitu penting bagi keberlanjutan hidup, jadi tidak apa-apa dilupakan demi menyimpan yang lebih penting seperti daftar pustaka yang harus kubaca demi skripsi.

Padahal memori bahagia yang menjadi pegangan saat sedang susah. Semua orang mengenang dengan rindu saat-saat bisa berjalan-jalan tanpa perlu khawatir bahwa besoknya akan sesak nafas, harus masuk rumah sakit dan menghadapi kemungkinan meninggal. Orang kantor yang kesal dengan kerjaan ingin hari Jumat cepat-cepat datang agar bisa santai. Bayangan akan kembalinya waktu semuanya lebih baik daripada masa kini jadi harapan semua orang dalam melewati masa-masa sulit.

Dengan kekuatan retensi yang sebegitu pilih kasih, ditengah masalah bertubi-tubi, harapan itu terasa jauh, bahkan malah asing, seperti aku dan celotehan kanak-kanakku. Logika pun tidak bisa diandalkan. Dalam masa-masa berat, logika dapat dengan mudah dikesampingkan emosi. Lihat saja orang-orang yang panik lalu menjual sahamnya diawal krisis ekonomi.

Sejujurnya, kurasa akan ada masanya logika gagal dan titik terbaik kita terlupa, dan pada saat itu, sia-sia meraba mencari pegangan, berharap ingatan dan logika kita akan menemukan jalan keluarnya. Menyuruh orang untuk senantiasa mensyukuri berkah, berhenti memprotes keadaan dan terus saja mengerjakan tugas sebisamu membuat orang lain menganggapmu bukan orang yang simpatetik, jadi menurutku kita juga seharusnya tidak menyuruh diri melakukan hal yang sama. Menurutku, justru indahnya menjadi manusia adalah kita tidak bisa mengetahui segala hal. Dan karena inilah, ada kalanya aku dengan lebih tenang dapat mengingatkan diri bahwa aku cukup bodoh untuk tidak dapat menyadari kemungkinan-kemungkinan untuk perbaikan situasi.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyuruh kalian lantas berleha-leha dalam ketidaktahuan, tapi justru untuk mendukung pencarian terus menerus jalan keluar yang tepat. Bedanya, penekanan berubah dari mengharuskan diri mampu menyelesaikan semua sekarang juga (meningkatkan ekspektasi dan kekecewaan) menjadi pengakuan bahwa saat ini, memang aku belum mampu. Ini justru — bagiku — memudarkan beban, dan membebaskan aku untuk melakukan hal seperti mengeksplorasi sudut pandang lain, meminta bantuan atau berhenti sejenak. Menerima bahwa diriku cukup bodoh anehnya membantuku merasa jauh lebih bahagia daripada berusaha meyakinkan diri bahwa aku sudah tahu, mungkin juga karena ketidaktahuanku memperluas kemungkinan yang dapat terjadi.

Kalau sudah sampai tahap penerimaan, lalu kemana? Ya, terserah. Kan, segala jalan dibuka. Bisa dimulai dengan berbincang dengan temanmu, atau dengan piaraanmu jika temanmu selalu sibuk. Bisa dimulai dari bersih-bersih kamar. Bahkan bisa dimulai dari membaca ulang semua tulisanmu, dari TK sampai kuliah. Mungkin saja kalian menemukan Gelas Kaca kalian disana, atau bahkan, terinspirasi untuk membuat Gelas Kaca yang baru. Bebas, kok.

--

--

Clara Evangeline
Clara Evangeline

Written by Clara Evangeline

Pouring whatever's stuck in my mind here.

No responses yet